Kamis, 17 Mei 2012

CARA UNTUK MENGATASI KRISIS GLOBAL


Apakah krisis global itu ? Bagaimana impactnya ke dunia dan terutama ke Indonesia ?
Pada awalnya dimulai di negara Amerika Serikat sejak tahun 2006, yaitu adanya kredit macet perumahan yang diderita oleh Lembaga Keuangan  non Bank, Subprime Mourgate, yang menyalurkan kredit perumahan kelas menengah ke bawah kepada imigran-imigran yang mau menetap di Amerika Serikat ataupun Spekulan-spekulan yang memanfaatkan kredit rumah, karena sebelum tahun 2006 Fed rate saat itu berkisar 1 %. Dengan adanya inflasi yang membumbung tinggi, sejak tahun 2006 Fed rate meningkat naik sampai pertengahan 2007 sebesar 5,5 % yang berakibat meningkat juga suku bunga kredit pembiayaan perumahan. Sehingga Subprime Mourgate menderita ancaman akan adanya kredit macet sebesar USD 1,7 triliun. Ternyata industri keuangan di Amerika,Eropa dan dunia saat ini sudah sangat canggih, dimana piutang – piutang dari Subprime Mourgate bisa “ diperjual belikan “, yang berakibat efek domino yang dahsyat, seperti dialami oleh Citi Group, Merryl Linch, Bear Steams, Fanny Mal, Fredy Mac, AIG dll, bahkan sampai Lehman Brothers terpaksa mengumumkan pailit dengan beban utang USD 619 MRD, padahal Lehman Brothers sudah berdiri sejak tahun 1844 dan menduduki posisi perusahaan keuangan terbesar no. 4 di Amerika Serikat.
Bagaimana nasib Indonesia ?? Ternyata bukan hanya perusahaan-perusahaan keuangan di Amerika Serikat saja yang menderita, efek domino yang dahsyat melanda seluruh dunia, semua pasar modal dari Wall street, Eropa Barat, Eropa Timur, China, Jepang, India, Amerika Latin, Australia, Asia dan Indonesia sendiri hancur lebur. Index-index saham turun drastis sampai 50 – 65 % lebih.
Bukan hanya di pasar modal saja, semua perdagangan dan industri dilanda krisis. Ibaratnya kalau Amerika batuk, negara China dan India sakit TBC, karena ekspor mereka sangat besar ke Amerika, dan Indonesia akan masuk ICU, walaupun ekspor Indonesia tidak besar yang langsung ke Amerika, tetapi ekspor Indonesia untuk komodity besar sekali ke negara China, India dan Eropa.
Contoh petani sawit saat ini, yang harga jual dulu Rp. 1.750 – Rp. 2.000 / Kg Tandan Buah Segar Sawit, sekarang turun hanya Rp. 300 / Kg. Untuk ongkos petik dan transport tidak bisa terbayarkan dari hasil panenan, sampai-sampai kredit motor/mobil dan eksistensi kehidupan para petani terancam keberadaannya.
Bayangkan, seiring dengan harga minyak bumi pada tgl 11 Juli 2008 mencapai USD 147 per barel, saat ini hanya USD 70 per barel, harga CPO pun ikut trend minyak bumi, karena di luar negeri CPO sebagai bahan baku Biodiesel untuk bahan bakar alternatif. CPO yang pernah mencapai USD 1.300 per ton, sekarang turun ke USD 500 per ton. Bukan hanya CPO saja yang turun, semua komodity karet, coklat, kopi, jagung dll juga produk manufaktur seperti tekstil, kertas, sepatu dll juga terancam keberadaannya, karena banyak ekspor langsung ke Amerika dan Eropa.
Kiat-Kiat Untuk Mengatasi Krisis Global
  1. Turunkan harga BBM dalam negeri ke harga sebelum Mei 2008, yaitu Solar         Rp. 4.300 dan Premium Rp. 4.500
  2. Realisasikan proyek-proyek infrastruktur yang mandek saat ini, sebesar Rp. 170 Triliun
  3. Stop import bahan-bahan mewah, contoh buah apel, jeruk dll, mobil CBU dll
  4. Substitusi import : Minyak bumi, BBM substitusi dengan Bioethanol dan Biodiesel
  5. Substitusi import : Gandum / terigu dengan Modified Tepung Singkong ( Floura )

Add. 1. Turunkan Harga BBM
Pada awal tahun ini harga minyak bumi berkisar USD 80 – 90 per barel, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono berjanji tidak akan menaikkan harga BBM di dalam negeri,kecuali harga minyak bumi melampaui USD 100 per barel. Ternyata di bulan Mei 2008 subsidi BBM dipangkas dan BBM naik rata-rata 28 %, solar dari Rp. 4.300,- naik menjadi Rp. 5.500 dan Premium dari Rp. 4.500 naik menjadi Rp. 6.000, minyak tanah dari Rp. 2.000 menjadi    Rp. 2.500. Sekarang minyak bumi turun ke USD 70 per barel, mengapa tidak ada penyesuaian lagi dari pemerintah kita ? Padahal Malaysia, India, telah menurunkan harga berkali-kali sejak kenaikan lalu.
Dengan adanya kenaikan BBM bulan Mei 2008, efek domino yang terjadi adalah inflasi dari 1 digit naik ke kisaran 12 %, yang mengakibatkan kenaikan suku bunga SBI dari 8 % menjadi 9,5 %.
Dunia usaha mengalami kesulitan sejak kenaikan BBM, melonjaknya inflasi dan coba diredam dengan kenaikan SBI, yang berakibat krisis likuiditas dan kenaikan suku bunga kredit dari 13 % sekarang 17 %.
Jurus paling ampuh untuk meredam lonjakan-lonjakan ini adalah penurunan harga BBM, kembalikanlah ke harga BBM sebelum bulan Mei 2008, untuk solar Rp. 4.300, premium Rp. 4.500, dengan serta merta akan terjadi penurunan inflasi, SBI dan diikuti oleh suku bunga kredit, sehingga industri / perdagangan bisa mulai menggeliat lagi.
Ternyata pemerintah masih diam-diam saja seolah-olah tidak mau tahu akan penurunan harga minyak bumi ini, yang disinyalir oleh ahli perminyakan Kurtubi, bahwa pemerintah akan melepas harga BBM ke harga pasar, seandainya harga minyak bumi berkisar stabil di USD 70 – 80 per barel.
Dengan adanya penurunan harga BBM ini, akan menambah subsidi pemerintah, tapi efek nilai tambah yang diperoleh sektor riil akan lebih besar daripada membiarkan sektor riil tergerus oleh krisis global berkepanjangan. Berapa industri-industri yang akan tutup, berapa karyawan akan kena PHK, laju pertumbuhan ekonomi pun ikut merosot.

Add.2. Realisasikan Proyek-Proyek Infrastruktur
Merealisasikan proyek-proyek infrastruktur yang mandek, karena ketakutan pimpro-pimpro untuk melaksanakan proyek infrastruktur ini, gara-gara takut berurusan dengan KPK di kemudian hari, karena adanya penyimpangan-penyimpangan ataupun adanya uang pelicin untuk memenangkan tender-tender dsb.
Sampai saat ini masih ada proyek-proyek infrastruktur senilai Rp. 170 triliun yang masih belum terealisasikan. Seandainya proyek ini sampai tuntas terealisir, betapa nilai tambah yang berganda bagi sektor pertanian, perdagangan, perindustrian, yang bisa menghemat devisa, sehingga tidak mustahil akan terjadinya swasembada pangan.
Perlu dipikirkan cara-cara terbaik, apakah perlu melibatkan auditor-auditor yang di back up kepolisian, kejaksaan atau kehakiman, sehingga membebaskan tuntutan-tuntutan  di kemudian hari bagi pimpro-pimpro terkait.

Add.3. Stop Import Barang-Barang Konsumtif Mewah
a). Stop import buah-buahan apel, anggur, jeruk, pear, durian dll.
Tanpa makan buah-buahan import, rakyat kita tidak akan memderita kelaparan, karena kita memiliki berbagai aneka ragam buah-buahan seperti nanas, pepaya, pisang, mangga, jambu, belimbing dll. Berapa devisa kita yang bisa dihemat, bukannya memberikan subsidi kepada petani kita, malah petani Amerika, China, Australia yang disubsidi.
Kebetulan saya kenal seorang importir buah-buahan yang kapasitas import per bulannya 100 kontainer dengan nilai USD 30.000 per kontainer, total nilai import USD 36 juta per tahun, setara dengan Rp. 360 milyard. Kalau ada puluhan importir buah-buahan, bisa dibayangkan berapa puluh triliun devisa kita di hambur-hamburkan, yang seharusnya bisa memberikan nilai tambah bagi petani kita ??

b). Stop import mobil CBU
Jelas di sini, 100 % devisa kita kabur tanpa memberikan nilai tambah apapun bagi industri otomotif kita, seumpama import mobil CBU sebesar 100.000 unit per tahun, dengan nilai rata-rata Rp. 200.000.000,-, akan dihemat Rp. 20 triliun per tahun.
Kalau industri perakitan mobil dibatasi, hanya untuk yang mempunyai komponen lokal    60 % ke atas, contoh seperti Kijang, devisa kita bisa dihemat lagi. Kalau perlu, mobil sedan mewah tidak diperlukan lagi. Toh penambahan jalan kita sebesar deret hitung, penambahan kendaraan bermotor sebesar deret ukur.
Dengan penambahan 500.000 unit mobil dan kendaraan niaga per tahun, mengakibatkan kemacetan di kota besar, yang impactnya ke pemborosan BBM sebesar 30 % lebih dan pencemaran udara yang tidak bisa ditanggulangi lagi. Rata-rata konsumsi kendaraan di jalan yang lancar 1 ltr untuk 12 km, tetapi jalan yang macet hanya 1 ltr untuk 8 km, adanya pemborosan sebesar 50 %.
Kalau konsumsi per tahun BBM subsidi sebesar 35 juta kilo liter, 20 juta kilo liter untuk premium, 10 juta kilo liter solar, 5 juta kilo liter minyak tanah, maka pengiritan yang didapat dengan 30 % per tahun adalah :
·         Untuk Premium :
30 % X 20.000.000.000 X Rp. 6.000 = Rp. 36 Triliun
·         Untuk Solar :
30 % X 10.000.000.000 X Rp. 5.500 = Rp. 16,5 Triliun
TOTAL PENGIRITAN                        = Rp. 52,5 Triliun / tahun
Dari total konsumsi mobil dan kendaraan niaga sebesar 500.000 unit /tahun, terdiri dari 100.000 unit mobil CBU/tahun dan diproduksi 400.000 unit per tahun, diperkirakan hanya 100.000 unit yang diijinkan di produksi dengan komponen lokal 60 %, sisanya 300.000 unit distop produksinya, akan kehilangan nilai penjualan sebesar 300.000 X                  Rp. 200.000.000 = Rp. 60 triliun per tahun, yang terdiri dari 50 % komponen import, yang bisa dihemat devisanya, jadi Rp. 30 triliun per tahun, hanya kehilangan Rp. 30 triliun per tahun berupa komponen lokal, pajak bea masuk, pajak PPN BM, Gaji Karyawan, Staff, Eksekutif. Jadi kalau pemerintah memberikan subsidi biaya produksi dan komponen lokal dan kehilangan pajak-pajak bea masuk, PPN BM dll sebesar Rp. 30 triliun per tahun, tetapi bisa menghemat devisa sebesar Rp. 30 triliun dari komponen import dan Rp. 20 triliun untuk import mobil CBU dan pengiritan BBM sebesar Rp. 52,5 triliun sama dengan total penghematan sebesar Rp. 102,5 triliun dikurangi subsidi sebesar Rp. 30 triliun, masih tetap menghemat sebesar Rp. 72,5 triliun.

Jadi penambahan mobil dan kendaraan niaga 100.000 unit saja per tahun, 300.000 unit distop produksinya dan 100.000 mobil CBU distop importnya.
Ini merupakan pemikiran yang sederhana dari saya, yang mengetahui jelasnya adalah departemen perdagangan, departemen perindustrian, direktorat pajak, mengenai detail angka-angkanya. Dengan ilustrasi tsb diatas, bisa dihitung oleh pemerintah, penghematan devisa sepadan atau lebih daripada subsidi biaya produksi dan komponen lokal yang harus digantikan dan kehilangan pajak-pajak terkait.

c). Stop Produksi Sepeda Motor
Produksi tahun 2007 sebesar 4,7 juta unit, tahun ini diprediksi sebesar 5,6 juta unit. Luar biasa untuk populasi sepeda motor terbesar di dunia mencapai 23 juta unit lebih, 1 unit sepeda motor untuk 10 orang, bisa dilihat di jalan raya merupakan lautan sepeda motor dengan kapasitas jalan yang tidak sepadan sehingga rawan kecelakaan, apalagi anekdot yang mengatakan, bahwa pengendara sepeda motor di Indonesia mempunyai nyawa lebih dari satu. Dan ternyata angka kecelakaan  yang terbesar di dunia, dengan perkiraan 1 % dari populasi 23 juta sepeda motor sama dengan 230.000 / tahun kecelakaan dan angka kematian 28.000 per tahun.
Disamping itu, rawan terjadi kredit macet seperti hal Subprime Mourgate, yaitu Lembaga Keuangan  Leasing dan Bank-Bank tetap menyalurkan kredit untuk pembelian sepeda motor, padahal pembeli sepeda motor ini hanya sekedar spekulasi daripada mudik pakai Bus/Kereta lebih baik beli kredit sepeda motor, bisa bayar uang muka dan maksimal bayar cicilan 3 bulan, setelah itu menjadi kredit macet.
Seandainya stop produksi sebesar 5 juta unit per tahun, pemerintah akan menghemat devisa 50 % untuk komponen import dan mengeluarkan 50 % subsidi untuk biaya produksi, komponen lokal dan pajak-pajak terkait, jadi impas, tetapi bisa mengurangi resiko kredit macet dan pengiritan BBM seperti point b) tadi pasti terjadi.

Add.4. Substitusi Import Minyak Bumi dengan Produksi Biodiesel & Bioethanol
Lifting Minyak bumi kita sebesar 929.000 barel / hari, 340 juta barel per tahun yang diekspor, karena kualitasnya lebih bagus dengan kandungan Sulphur yang rendah. Sedangkan untuk kilang dalam negeri diimport minyak bumi dari Arab Saudi sebesar 245 juta barel per tahun setara 35 juta kilo liter untuk BBM bersubsidi dan 30 juta kilo liter BBM industri ( kurang lebih 210 juta barel per tahun ).
Dari BBM bersubsidi sebesar 35 juta kilo liter per tahun, terdiri dari 20 juta kilo liter premium dan 10 juta kilo liter solar, 5 juta kilo liter minyak tanah, dan untuk BBM industri hampir seluruhnya solar/IDO sebesar 30 juta kilo liter.
Substitusi 20 juta kilo liter premium oleh 30 % Bioethanol sebesar 6 juta kilo liter, substitusi 40 juta kilo liter solar / IDO oleh Biodiesel minimum 50 % bisa tercapai, yaitu 20 juta kilo liter Biodiesel per tahun. Daripada memberi subsidi kepada rakyat Arab Saudi untuk import minyak bumi lebih baik subsidi diberikan kepada petani sawit, industri kelapa sawit ( CPO ), industri Biodiesel dan petani singkong, industri Bioethanol. Untuk 20 juta kilo liter / tahun, Biodiesel membutuhkan 8 juta ha kebun sawit dengan hasil 20 juta ton CPO / tahun.
Kalau 1 KK petani mengelola 2 ha kebun sawit, akan terserap 4 juta KK petani sama dengan 16 juta penduduk bisa mendapatkan nafkah.
Dengan prediksi harga Tandan Buah Segar Sawit Rp. 700/kg maka harga CPO               Rp. 4.500/kg ( USD 500 per ton ), dan menjadi Biodiesel Rp. 6.500/ltr.
Disini diperlukan keseriusan pemerintah, menunjuk  Pertamina sebagai Stand by buyer dengan harga Rp. 7.000/ltr, berapapun produsen Biodiesel menghasilkan Biodiesel akan diserap total tanpa tetek bengek prosedur, apalagi uang siluman. Sebagai perbandingan, kalau Pertamina harus import minyak bumi dari Arab Saudi dan dikilang menjadi BBM, diperlukan biaya Rp. 7.500, lebih baik membeli Biodiesel dari dalam negeri, devisanya tidak lari kemana-mana, bisa lebih mensejahterakan petani sawit dan pengusaha-pengusaha CPO dan Biodiesel, dan bisa menyerap tenaga kerja yang berlimpah ruah, jadi multiplier efeknya besar sekali.
Untuk menyerap hasil panenan sawit seluas 8 juta ha, diperlukan pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton Tandan Buah Segar Sawit per jam sebanyak 550 pabrik, dan pabrik Biodiesel kapasitas 120 T per hari intergrated dengan pabrik kelapa sawitnya. Total karyawan yang bisa diserap 55.000 orang. Suatu penciptaan lapangan pekerjaan baru ditengah krisis yang sedang melanda dunia.
Luar biasa multiplier efeknya, termasuk 16 juta penduduk petani bisa mendapatkan nafkahnya. Disamping itu adanya pengiritan import minyak bumi sebesar 455 juta barel X USD 80 sama dengan Rp. 364 triliun yang bisa dipergunakan untuk membiayai petani sawit, petani singkong, industri CPO, industri Biodiesel dan industri Bioethanol.
Saat ini industri kelapa sawit dan petani sawit sedang dilanda krisis dengan turunnya harga CPO mencapai USD 500 per ton dari sebelumnya pernah mencapai USD 1.300 pada saat harga minyak bumi USD 147  per barel.

Total produksi CPO tahun ini diperkirakan 17,5 juta ton, dengan tujuan ekspor sebesar 13 juta ton dan sisanya 4,5 juta ton dipasarkan dalam negeri untuk minyak goreng. Dengan turunnya harga ekspor, jelas tidak mungkin akan di switch ke pasaran domestik, akan luber kemana-mana, kecuali diserap oleh industri Biodiesel dan diserap hasilnya oleh Pertamina. Tetapi ketentuan ini belum ada juklaknya, baru saja ada mandatory BBN ( Bahan Bakar Nabati ), sebesar 2,5 % daripada pemakaian BBM oleh industri BUMN. Ketentuan ini sangat tidak ada manfaatnya. Jauh api dari panggangnya.
Sebagai tambahan, Biodiesel bisa dihasilkan disamping dari CPO, juga dari biji karet, dimana saat ini biji karet hanya berupa limbah dari perkebunan karet, sama sekali belum termanfaatkan.
Penulis adalah pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan hasil agroproduct, yang telah bisa memanfaatkan biji karet ini menjadi Biodiesel di Lampung, dengan hasil yang setara dengan Biodiesel dari CPO, bahkan lebih bagus, yaitu Pour Pointnya ( titik bekunya ) lebih rendah dari Biodiesel dari CPO, jadi untuk negara 4 musim tidak terjadi beku pada musin winter. Dari total luas lahan perkebunan karet 3,3 juta ha, kalau bisa dikumpulkan biji karet sebesar 30 %, yaitu dari 1 juta ha akan menghasilkan, per ha 2.000 kg biji karet per tahun, yaitu 2 juta ton biji karet dan untuk diolah menjadi Biodiesel sebesar 250.000 ton per tahun.
Ini hasil yang luar biasa, tanpa perlu menanam lagi, bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi pengumpul biji karet, per ha 1 – 2 orang. Jadi ada 2 juta tenaga kerja baru yang bisa direkrut.

Add.5. Substitusi Import Gandum / Terigu dengan Modified Tepung Singkong ( Floura )
Dengan makin berkembangnya budaya barat masuk ke Indonesia, makin banyak pilihan bahan makanan. Kalau dahulu, kita belum makan nasi berarti kita belum makan. Tapi budaya ini sudah bergeser, dengan kehadiran Kentucky, Mac Donald, Burger, Dunkin Donut, JCO, Breadtalk dll. Kita sekarang mengkonsumsi terigu untuk roti, mie instant, makin bertambah dari tahun ke tahun.
Tahun ini diprediksi dibutuhkan 4 juta ton terigu yang 100 % gandumya harus diimport dari negara 4 musim, karena gandum memerlukan freezing pada musim winter, yang tidak mungkin tumbuh di negara tropis.
Sekarang terigu bisa digantikan sampai kadar 25 – 75 % oleh tepung singkong termodifikasi ( Floura ) yang mempunyai sifat menyerupai terigu.
Jangan menganggap remeh peranan singkong, yang selalu mengisi kebutuhan hidup kita sepanjang hari dari pagi sampai malam. Pagi hari kita menggosok gigi dengan tapal gigi yang bahan bakunya dari singkong menjadi sorbitol, sarapan pagi makan nasi goreng dengan bumbu masak vetsin yang bahan bakunya dari singkong menjadi tapioka diproses menjadi monosodium glutamate, minum kopi/teh bisa dengan glucose cair berbahan baku singkong, pakai pakaian yang bahan kanjinya dari tapioka, dari singkong juga, baca koran, yang produksi kertasnya memerlukan oxidized starch dan cationic starch yang bahan bakunya dari singkong juga, minum coca cola / soft drink yang pemanis HFS nya ( High Fructose Syrop ) dari singkong juga, makan roti atau mie instant bisa juga disubstitusi oleh tepung singkong termodifikasi, sebagai substitusi BBM oleh Bioethanol dari singkong juga.
Jadi peranan singkong terhadap kebutuhan hidup kita sepanjang hari, sangat besar sekali. Untuk kebutuhan kebun singkong sebagai bahan baku 2 juta ton tepung singkong termodifikasi diperlukan 1 juta ha tambahan, disamping kebun singkong yang ada saat ini untuk keperluan tapioka, yaitu kisaran 1 juta ha juga. Penghematan devisa bisa dilakukan dengan adanya substitusi  import gandum/terigu dengan tepung singkong termodifikasi ( Floura ), sebesar 2 juta ton gandum/tahun dengan harga USD 500/ton jadi senilai USD 1 milyard sama dengan 10 triliun/tahun.
Penulis juga pengusaha pengolahan bahan agroproduct dari singkong menjadi floura dan oxidized / cationic starch, modified starch untuk industri tekstil, gypsum dan kertas.

KESIMPULAN :
Masih banyak produk-produk manufaktur berbahan baku lokal yang diperlukan untuk substitusi import. Terutama saat ini, produk manufaktur yang orientasinya ekspor mengalami ancaman stop import oleh buyer-buyer dari negara-negara Eropa ataupun Amerika sendiri.
Saving devisa diperlukan disamping pendapatan devisa dari ekspor kita.

Tidak ada komentar: