Struktur Tata Ruang Kota
Kota tumbuh, itu bukan tanpa alasan, adapun alasan tumbuhnya kota
adalah di pengaruhi oleh Competitive advantage, yang dimana meliputi dua hal
yaitu ; perbedaan ketersediaan sumber daya dan perbedaan akses. Maka tumbuh
cepatnya kota di pengaruhi oleh kedua competitive diatas. Lalu urban
growth biasanya dilihat dari; built up area (kawasan terbagun), bersifat angka,
bersifat lebih dari pada sekedar luas area, lalu adanya pertumbuhan yang
dipegaruhi oleh comparative advantages(baik alamiah maupun buatan).
Pertumbuhan
sebuah kota dpat dilihat dari pertama, meningkatanya jumlah penduduk baik
intesnsitas kegiatan sosial maupun ekonomi., kedua, kepadatan bangunan tinggi,
lalu yang ketiga adalah adanya keterbatasan lahan versus highrise building yang
man highrice building ini dapat mengehemat penggunaan lahan, keempat adanya
kebutuhan akan ruang yang semakin meluas, serta yang terakhir adalah akuisisi,
invasi ke arah pinggiran.
Adapun
unsur pembentuknya struktur tata ruang kota menurut para ahli adalah ; yang
pertama oleh Kevin Lynch, yang dimana beliau mengatakan bahwaa ada 5 unsur
gambaran mengenai ruang kota, yaitu path, edge, distric, node, dan landmarak.
Lalu kedua menurut Doxias dimana secara konsepsial perkotaan merupakan
totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur yaitu, alam, antropos,
society, shells dan jaringan. Lalu Kus Hadinoto mengadaotasinya menjadi 5 unsur
pokok yaitu, wisma, karya, marga, suka serta penyempurna. Dalam pandangan yang
berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik permukiman memiliki unsur place.
Work, dan folk.
Adapun
struktur kota ada yang bersifat konsenris yang man CBD nya hanya di satu titik
saja, lalu sektoral yang dimana pusat kotanya mengikuti alur sektor-sektor yang
mempengaruhi, lalu yang ketiga adalah multiple nuclei yang mana pusat kotanya
menyebar ke beberapa arah, mengikuti lajur akses transportasi.
Tinjauan
trehadap struktur tata ruang internal kota dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan antara lain, pendekatan ekologikal, ekonomi, morfologi kota, dan
sistem kegiatan. Sedangkan implikasi terhadap konsumsi ruang kota dan wilayah
dibagi menjadi dua yaitu Market Driven dan multiplier effect.
Lalu
apakah peran dari struktur tata ruang? Yaitu untuk menciptakan struktur ruang
kota. Dimana sebagai titik pusat pertumbuhan baru, sebagai kawasan pendukung
industri, serta sebagai pengarah jaringan infrastruktur. Kriteria bentuk dan
struktur ruang kota berbeda-beda seperti contohnya eropa bentuk kotanya kompak
dengan efisiensi serta investasi jaringan terpadu, sedangkan indonesia memiliki
karakteristik permukiman kampung dengan perkarangan yang dimna bisa
disebut sebagai permukiman organik.
Struktur
ruang memiliki sifat yang mapan, tidak berubah dalam jangka pendek atau dapat
diprediksi dalam jangan panjang, sedangkan bentuk kota memiliki sifat yangb
sesuai dengan bentukan alam, pertumbuhan karakteristik sosioeko, serta
mengakomodasi kegiatan penduduk dengan efisien. Urban Spatial Structure ada 4
yaitu the monocentric city, sectoral urban growth, urban multi nucleation, dan
surbanization.
Evolusi
perubahan struktur ruang dan pembentukan kota dengan Upaya Urban Renewal Resettlement, AlihFungsiPenggunaanLahanPermukimanmenjadi
non permukimandansebaliknya , Perubahanjaringaninfrastruktur Desentralisasi ,DekonsentrasiPlanologis, dll. Lalu adapun permasalah serta tantangan keberlajutan yaitu
pembentukan kota yang efisien, mendu=idk masyarakat, serta bagaimna pelibatan
aktor pengembang, pengambil kebijakan, konsumen dalam membentuk struktur ruang
dan pembentukan kota yg berkelanjutan.
Definisi struktur ruang
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta
sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang
merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan
ataupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur
pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang
secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk
tata ruang.
Adapun elemen-elemen
yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005: 97, yaitu
- Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan.
- Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
- Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
- Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.
Bentuk dan model struktur ruang
Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari pusat pelayanan (retail)
terbagi menjadi tiga, yaitu (Sinulingga, 2005:103-105)
1. Monocentric
city
Monocentric city adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah
penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang
sekaligus berfungsi sebagai CBD (Central Bussines District).
2. Polycentric
city
Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak
efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih dari satu pusat
pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan
CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang dinamakan sub pusat kota
(regional centre) atau pusat bagian wilayah kota. Sementara itu, CBD secara
berangsur-angsur berubah dari pusat pelayanan retail (eceran) menjadi kompleks
kegiatan perkantoran komersial yang daya jangkauan pelayanannya dapat mencakup
bukan wilayah kota saja, tetapi wilayah sekeliling kota yang disebut juga
wilayah pengaruh kota.
CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota (regional
centre) akan membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung seperti
multiple nuclei city yang terdiri dari:
a. CBD, yaitu pusat kota
lama yang telah menjadi kompleks perkantoran
b. Inner suburb (kawasan
sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang tadinya dilayani oleh CBD waktu kota
belum berkembang dan setelah berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi
sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota
c. Sub pusat kota, yaitu
pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai perkembangan kota
d. Outer suburb
(pinggiran kota), yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota
dan dilayani sepenuhnya oleh sub pusat kota
e. Urban fringe (kawasan
perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang secara berangsur-angsur tidak
menunjukkan bentuk kota lagi, melainkan mengarah ke bentuk pedesaan (rural
area)
3. Kota metropolitan
Kota metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit
yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota
tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan
penduduk wilayah metropolitan.
Adapun model struktur
ruang apabila dilihat berdasarkan pusat – pusat pelayanannya diantaranya:
1. Mono centered
Terdiri dari satu pusat dan
beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu
dengan sub pusat yang lain.
2. Multi nodal
Terdiri dari satu pusat
dan beberapa sub pusat dan sub sub pusat yang saling terhubung satu sama lain.
Sub sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga terhubung
langsung dengan pusat.
3. Multi centered
Terdiri dari beberapa
pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lainnya.
4. Non centered
Pada model ini tidak
terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki hirarki yang
sama dan saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya.
Model Struktur Ruang
Selain itu beberapa
penulis juga menggolongkan tipologi struktur sebagai gambar berikut:
Tipologi Struktur Ruang
Pengertian pusat dan sub pusat pelayanan kota
Pusat kota merupakan pusat dari segala kegiatan kota antara lain politik,
sosial budaya, ekonomi, dan teknologi. Jika dilihat dari fungsinya, pusat kota
merupakan tempat sentral yang bertindak sebagai pusat pelayanan bagi daerah-daerah
di belakngnya, mensuplainya dengan barang-barang dan jasa-jasa pelayanan,
jasa-jasa ini dapat disusun menurut urutan menaik dan menurun tergantung pada
ambang batas barang permintaan. Pusat kota terbagi dalam dua bagian:
1. Bagian paling inti
(The Heart of The Area) disebut RBD (Retail Business District)
Kegiatan dominan pada
bagian ini antara lain department store, smartshop, office building, clubs,
hotel, headquarter of economic, civic, political.
2. Bagian diluarnya
disebut WBD (Whole Business District) yang ditempati oleh bangunan yang
diperuntukkan untuk kegiatan ekonomi dalam jumlah yang besar antara lain pasar
dan pergudangan.
Sedangkan menurut Arthur
dan Simon (1973), pusat kota adalah pusat keruangan dan administrasi dari
wilayahnya yang memiliki beberapa ciri, yaitu
1. Pusat kota merupakan
tempat dari generasi ke generasi menyaksikan perubahan-perubahan waktu.
2. Pusat kota merupakan
tempat vitalitas kota memperoleh makanan dan energi, dengan tersebarnya
pusat-pusat aktivitas seperti pemerintahan, lokasi untuk balai kota, toko-toko
besar, dan bioskop.
3. Pusat kota merupakan
tempat kemana orang pergi bekerja, tempat ke mana mereka ”pergi ke luar”.
4. Pusat kota merupakan
terminal dari pusat jaringan, jalan kereta api, dan kendaraan umum.
5. Pusat kota merupakan
kawasan di mana kita menemukan kegiatan usaha, kantor pemerintahan, pelayanan,
gudang dan industri pengolahan, pusat lapangan kerja, wilayah ekonomis
metropolitan.
6. Pusat kota merupakan
penghasilan pajak yang utama, meskipun kecil namun nilai bangunan yang ada di
pusat kota merupakan proporsi yang besar dari segala keseluruhan kota, karena
pusat kota memiliki prasarana yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi.
7. Pusat kota merupakan
pusat-pusat fungsi administratif dan perdagangan besar, mengandung rangkaian
toko-toko eceran, kantor-kantor profesional, perusahaan jasa, gedung bioskop,
cabang-cabang bank dan bursa saham. Dalam kota kecil yang swasembada, kawasan
ini juga menyediakan fasilitas perdagangan besar mencakup pusat-pusat
administratif dan transportasi yang diperlukan.
Sedangkan pengertian sub pusat pelayanan kota adalah suatu pusat yang
memberikan pelayanan kepada penduduk dan aktivitas sebagian wilayah kota,
dimana ia memiliki hirarki, fungsi, skala, serta wilayah pelayanan yang lebih
rendah dari pusat kota, tetapi lebih tinggi dari pusat lingkungan.
Faktor-faktor timbulnya pusat pelayanan
Faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya suatu pusat-pusat pelayanan, yaitu
1. Faktor Lokasi
Letak suatu wilayah yang
strategis menyebabkan suatu wilayah dapat menjadi suatu pusat pelayanan.
2. Faktor Ketersediaan
Sumber Daya
Ketersediaan sumber daya
dapat menyebabkan suatu wilayah menjadi pusat pelayanan.
3. Kekuatan
Aglomerasi
Kekuatan aglomerasi
terjadi karena ada sesuatu yang mendorong kegiatan ekonomi sejenis untuk
mengelompok pada sutu lokasi karena adanya suatu keuntungan, yang selanjutnya
akan menyebabkan timbulnya pusat-pusat kegiatan.
4. Faktor Investasi
Pemerintah
Ketiga faktor diatas
menyebabkan timbulnya pusat-pusat pelayanan secara ilmiah, sedangkan faktor
investasi pemerintah merupakan sesuatu yang sengaja dibuat (Artificial).
Perkembangan kota dan
struktur ruang
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari
suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sorotan perubahan
keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk
menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam Daldjoeni (1996: 87),
perkembangan kota dipandang sebagai fungsi dari pada faktor-faktor jumlah
penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan teknologi dan kemajuan
dalam organisasi sosial.
Sedangkan menurut Bintarto (1989), perkembangan kota dapat dilihat dari
aspek zone-zone yang berada di dalam wilayah perkotaan. Dalam konsep ini
Bintarto menjelaskan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan lahan
yang membentuk zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaaan sedangkan menurut
Branch (1995), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara
geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh
pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti
:
a) topografi,
b) bangunan,
c) jalur
transportasi,
d) ruang terbuka,
e) kepadatan
bangunan,
f) iklim lokal,
g) vegetasi tutupan
dan
h) kualitas
estetika.
Secara skematik
Branch,menggambarkan 6 pola perkembangan kota, sebagai berikut :
Pola Umum Perkembangan
Perkotaan
Sumber : Branch,
1996
Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis penyebaran areal
perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999), mengemukakan beberapa alternatif
model bentuk kota. Secara garis besar ada 7 (tujuh) buah model bentuk kota yang
disarankan, yaitu;
(a) bentuk satelit dan
pusat-pusat baru (satelite and neighbourhood plans), kota utama dengan
kota-kota kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional yang efektif dan
efisien;
(b) bentuk stellar atau
radial (stellar or radial plans), tiap lidah dibentuk pusat kegiatan
kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan dan yang menjorok
ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru kota,
tempat rekreasi dan tempat olah raga bagi penduduk kota;
(c) bentuk cincin (circuit
linier or ring plans), kota berkembang di sepanjang jalan utama yang
melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau
terbuka;
(d) bentuk linier
bermanik (bealded linier plans), pusat perkotaan yang lebih kecil tumbuh
di kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya terbatas di
sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, dipinggir jalan biasanya
ditempati bangunan komersial dan dibelakangnya ditempati permukiman
penduduk;
(e) bentuk inti/kompak (the
core or compact plans), perkembangan kota biasanya lebih didominasi oleh
perkembangan vertikal sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak
bangunan pada areal kecil;
(f) bentuk memencar (dispersed
city plans), dalam kesatuan morfologi yang besar dan kompak terdapat
beberapa urban center, dimana masing-masing pusat mempunyai grup
fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain; dan
(g) bentuk kota bawah
tanah (under ground city plans), struktur perkotaannya dibangun di bawah
permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada
permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah
pertanian yang tetap hijau.
bentuk kota: satelit, kota bintang, cincin, linear, memancar, kompak dan
bawah tanah
Beberapa Alternatif
Bentuk Kota
KAWASAN PERKOTAAN
Kawasan
Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kawasan Perkotaan
dibedakan atas:
a. Kawasan
Perkotaan yang berstatus administratif Daerah Kota;
b. Kawasan
Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten;
c. Kawasan
Perkotaan Baru yang merupakan hasil pembangunan yang
mengubah Kawasan
Perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan;
d. Kawasan
Perkotaan yang mempunyai bagian dari dua atau lebih
daerah yang
berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan
fisik perkotaan.
Perencanaan
tata ruang Kawasan Perkotaan, secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan
merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan
infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial
ekonomi yang diinginkan.
Penanganan
penataan ruang masing-masing Kawasan Perkotaan tersebut perlu dibedakan antara
satu dengan lainnya. Ada 3 klasifikasi KawasanPerkotaan yang akan diuraikan
dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan ini:
Kawasan
Perkotaan Metropolitan;
Kawasan
Perkotaan yang berstatus Daerah Kota;
Kawasan
Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten.
Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sesuai dengan klasifikasi
tersebut di atas, maka:
• untuk Kawasan
Perkotaan Metropolitan, pengaturan pemanfaatan ruang diarahkan bagi keserasian
pusat-pusat wilayah maupun kota, yang dipandang dalam rangka keserasian
administratif maupun fungsional, dan sifat rencananya menyangkut hal-hal yang
strategis;
•untuk Kawasan
Perkotaan yang merupakan Daerah Kota, kedalaman rencananya bersifat umum;
• untuk Kawasan
Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten, diakomodasikan
perencanaannya dalam RTRW Kabupaten yang bersifat umum. Selanjutnya kawasan
perkotaan yang berstatus Daerah Kota disebut ‘Kota’. Kedudukan dan Jenis
Rencana Tata Ruang Kawasan PerkotaanPenataan ruang berdasarkan fungsi utama
kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya;
Penataan
ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah
Propinsi, Dan wilayah Kabupaten/Kotamadya;
Penataan
ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi Kawasan Perdesaan,
Kawasan Perkotaan, dan Kawasan Tertentu; Penataan ruang Kawasan Perkotaan
diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota;
Penataan ruang Kawasan Perkotaan meliputi proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan.;
Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan dilakukan melalui proses dan prosedur
penyusunan serta penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
Rencana
Tata Ruang Kawasan Perkotaan perlu dibedakan dalam 3 jenis rencana dengan
tingkat kedalaman yang berbeda:
-
Rencana Struktur,
adalah kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk Kawasan Perkotaan
Metropolitan dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang;
-
Rencana Umum, adalah
kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan
dibudidayakan serta Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan;
-
Rencana Rinci, terdiri
dari:
a. Rencana
Detail, merupakan pengaturan yang memperlihatkan keterkaitan antara blok-blok
penggunaan kawasan untuk menjaga keserasian pemanfaatan ruang dengan manajemen
transportasi kota dan pelayanan utilitas
kota.
b. Rencana
Teknik, merupakan pengaturan geometris pemanfaatan ruang yang menggambarkan
keterkaitan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya, serta keterkaitannya
dengan utilitas bangunan dan utilitas kota/kawasan (saluran drainase, sanitasi
dll).
Sesuai dengan
tingkatan kedalaman perencanaan tata ruang tersebut, maka produk perencanaan
tata ruang kawasan perkotaan meliputi:
Rencana Struktur
Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan;
Rencana Umum
Tata Ruang Kawasan Perkotaan/Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;
Rencana Detail
Tata Ruang Kawasan Perkotaan;
Rencana Teknik
Ruang Kawasan Perkotaan/Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
Keterkaitan
perencanaan masing-masing tingkatan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dapat
digambarkan dalam proses perencanaan sebagai diagram pada Gambar 2.2.
Klasifikasi dan Kriteria Kawasan Perkotaan
Kawasan
Perkotaan berdasarkan status pemerintahan dibedakan atas:
a) Kawasan
Perkotaan yang merupakan Daerah Kota;
b) Kawasan
Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah
Kabupaten, yang
terdiri dari ibukota Kabupaten, Kawasan Perkotaan yang sesuai kriteria,
termasuk Kawasan Perkotaan Baru (yaitu kawasan yang merupakan hasil pembangunan
yang
mengubah kawasan
perdesaan menjadi kawasan perkotaan);
c) Kawasan
Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah Otonom yang
berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.
a) Kriteria Kawasan Perkotaan yang merupakan Daerah
Kota
• Kemampuan
ekonomi; merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung
di suatu Daerah Kota, yang dapat diukur dari:
- PDRB (produk
domestik regional bruto);
- Penerimaan
daerah sendiri.
• Potensi
daerah; merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan
memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat,
yang dapat diukur dari:
- Lembaga
keuangan;
- Sarana
ekonomi;
- Sarana
pendidikan;
- Sarana
kesehatan;
- Sarana
transportasi dan komunikasi;
- Sarana pariwisata;
-
Ketenagakerjaan.
• Sosial budaya;
merupakan cerminan yang berkaitan dengan
struktur sosial
dan pola budaya masyarakat, yang dapat diukur
dari:
- Tempat
peribadatan;
-
Tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
- Sarana
olahraga.
• Sosial politik;
merupakan cerminan kondisi sosial politik
masyarakat, yang
dapat diukur dari:
- Partisipasi
masyarakat dalam berpolitik;
- Organisasi
kemasyarakatan.
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan
• Jumlah
penduduk; merupakan jumlah tertentu penduduk suatu daerah.
• Luas daerah;
merupakan luas tertentu suatu daerah.
• Pertimbangan
lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah; dapat diukur dari:
- Keamanan dan
ketertiban;
- Ketersediaan
sarana dan prasarana pemerintahan;
- Rentang kendali;
- Kota yang akan
dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan;
Cara pengukuran
kriteria tersebut di atas dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam
Lampiran PP No. 129 tahun 2000.
b) Kriteria Umum Kawasan Perkotaan
• Memiliki fungsi
kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75% mata pencaharian
penduduknya di sektor perkotaan;
• Memiliki
jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa;
• Memiliki
kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar;
• Memiliki fungsi
sebagai pusat koleksi dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk
sarana dan prasarana pergantian moda transportasi.
c) Kriteria Kawasan Perkotaan Metropolitan
•
Kawasan-kawasan Perkotaan yang terdapat di dua atau lebih daerah otonom yang saling
berbatasan;
• Kawasan
Perkotaan yang terdiri atas satu kota inti berstatus otonom dan Kawasan
Perkotaan di sekitarnya yang membentuk suatu sistem fungsional;
• Kawasan
Perkotaan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan melebihi 1.000.000 jiwa.
d) Kriteria Kawasan Perkotaan Baru
• Kawasan yang
memiliki kemudahan untuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan dengan
membentuk satu kesatuan sistem kawasan dengan kawasan perkotaan yang ada;
• Kawasan yang
memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi
perkotaan;
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan
• Kawasan yang
terletak di atas tanah yang bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis
dan bukan kawasan yang rawan bencana alam;
• Kawasan yang
tidak mengakibatkan terjadinya konurbasi dengan kawasan perkotaan di
sekitarnya;
• Kawasan yang
sesuai dengan sistem perkotaan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
Propinsi, dan Kabupaten;
• Kawasan yang
dapat mendorong aktivitas ekonomi, sesuai dengan fungsi dan perannya;
• Kawasan yang
mempunyai luas kawasan budi daya sekurang- kurangnya 400 hektar dan merupakan
satu kesatuan kawasan yang bulat dan utuh, atau satu kesatuan wilayah
perencanaan perkotaan dalam satu daerah kabupaten;
• Kawasan yang
direncanakan berpenduduk sekurang- kurangnya 20.000 jiwa.
Kawasan Perkotaan Berdasarkan jumlah Penduduk
diklasifikasikan menjadi :
a) Kawasan
Perkotaan Kecil, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa;
b) Kawasan
Perkotaan Sedang, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;
c) Kawasan
Perkotaan Besar, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
lebih besar dari 500.000 jiwa;
d) Kawasan Perkotaan
Metropolitan, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani
lebih besar dari 1.000.000 jiwa.
Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling
dikenal yaitu:
1. Teori Konsentris (Burgess,1925) yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.
DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
1. Teori Konsentris (Burgess,1925) yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.
DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
2. Teori Sektoral (Hoyt,1939) menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
3. Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman,1945) menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (Yunus, 2000:49). Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
Teori lainnya yang
mendasari struktur ruang kota adalah Teori Ketinggian Bangunan; Teori
Konsektoral; dan Teori Historis. Dikaitkan dengan perkembangan DPK atau CBD,
maka berikut ini adalah penjelasan masing-masing teori mengenai pandangannya
terhadap DPK atau CBD :
Teori Ketinggian Bangunan
(Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat
dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar
merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi
dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal
ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail
activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang
tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.
Teori Konsektoral (Griffin
dan Ford, 1980). Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota di Amerika
Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama
dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses
perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut.
Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika
Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain
pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian
lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.
Teori Historis (Alonso,
1964). DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan
merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi.
Jadi, dari teori-teori
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa DPK atau CBD merupakan pusat
segala aktivitas kota dan lokasi yang strategis untuk kegiatan perdagangan
skala kota.
Tata ruang kota
Tata ruang perkotaan lebih kompleks dari tata ruang
perdesaan, sehingga perlu lebih diperhatikan dan direncanakan dengan baik.
Kawasan/zona di wilayah perkotaan dibagi dalam beberapa zona sebagai berikut:
- Perumahan dan permukiman
- Perdagangan dan jasa
- Industri
- Pendidikan
- Perkantoran dan jasa
- Terminal
- Wisata dan taman rekreasi
- Pertanian dan perkebunan
- Tempat pemakaman umum
- Tempat pembuangan sampah
Dampak dari rencana tata ruang di wilayah perkoaan yang tidak diikuti adalah
kesemrawutan kawasan mengakibatkan
berkembangnya kawasan kumuh yang
berdampak kepada gangguan terhadap sistem transportasi, sulitnya mengatasi dampak lingkungan yang berimplifikasi kepada kesehatan, sulitnya mengatasi kebakaran bila
terjadi kebakaran.
Perkembanganperkotaanadalahsuatu proses
perubahankeadaanperkotaandarisuatukeadaankekeadaan yang laindalamwaktu yang
berbeda. Sorotanperubahankeadaantersebutbiasanyadidasarkanpadawaktu yang
berbedadanuntukmenganalisisruang yang sama. MenurutJ.H.GoodedalamDaldjoeni (1996:
87), perkembangankotadipandangsebagaifungsidaripadafaktor-faktorjumlahpenduduk,
penguasaanalatataulingkungan,
kemajuanteknologidankemajuandalamorganisasisosial.
SedangkanmenurutBintarto (1989), perkembangankotadapatdilihatdariaspek
zone-zone yang berada di dalamwilayahperkotaan.
DalamkonsepiniBintartomenjelaskanperkembangankotatersebutterlihatdaripenggunaanlahan
yang membentuk zone-zone tertentu di dalamruangperkotaaansedangkanmenurut
Branch (1995), bentukkotasecarakeseluruhanmencerminkanposisinyasecarageografisdankarakteristiktempatnya.
Adapunelemen-elemen
yang membentukstrukturruangkota (Sinulingga, 2005: 97), yaitu:
· Kumpulan daripelayananjasatermasuk di dalamnyaperdagangan,
pemerintahan, keuanganyang cenderungterdistribusisecaraberkelompokdalampusatpelayanan.
· Kumpulan dariindustrisekunder (manufaktur)
pergudangandanperdagangangrosir yang cenderunguntukberkumpulpadasuatutempat.
· Lingkunganpermukimansebagaitempattinggaldarimanusiadanruangterbukahijau.
· Jaringantransportasi yang
menghubungkanketigatempat di atas.
Pembahasan mengenai
penggunaan lahan kota sangat luas jangkauannya, karena penggunaan lahan kota
sebagai suatu proses dan sekaligus produk menyangkut semua sisi kehidupan
manusia. Oleh karena hal inilah banyak sekali disiplin yang terlibat dalam
pembahasan mengenai penggunaan lahan kota. Untuk meninjau penggunaan lahan
kota, baik sebagai produk maupun proses dari kajian geografi pada umumnya dan
geografi pada khususnya, seseorang harus bertindak hati-hati, khususnya
mengenai aplikasi konsep-konsep yang menyertainya. Ada beberapa istilah memang,
yang dalam beberapa hal tidak relevan dengan studi geografi yang menekankan
pada konsep keruangan. Sebagai contohdapat dikemukakan disini yaitu konsep
sosial distance. Muasalnya timbul dalam studi sosiologi yang berusaha
menjelaskan pengertian Structural funcional, yang kemudian oleh Bogardus (1926)
dan Laumann (1960) dijelaskan sebagai an attitude of ego toward a person
(after) with a particular status atribut, dan atribut ini tidak lain merupakan
pengertian yang sederhana saja yaitu mata pencaharian (occupation). Jelaslah
disini konsep social distance merupakan aspacial concept yang alhasil bukan
konsep geografi. Namun demikian, sekali konsep ini dikaitkan dengan upaya
seseorang memilih sait untuk kedudukan pemukimannya, maka subjective social
distance tersebut dapat dikaitkan dengan phyusical distance dan terjadilah
transformasi konsep dari aspatial menjadi spatial-locational yang sekaligus
menjadikannya sebagai satu faktor geografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar